Di dalam FORUM TK DAN PAUD, ada seorang guru yang menceritakan pengalaman
beberapa anak didiknya yang tidak mau “berkotor-kotor”. Mereka selalu
menghindari kegiatan yang bersifat menjijikkan, misalnya menggunakan lem,
bermain tanah liat, bermain pasir, dll. Mereka tidak mau tangan mereka menjadi
kotor. Hidup bersih dan sehat sangat disarankan buat anak-anak. Namun, bila
terlalu bersih, sebenarnya itu jug tidak sehat. Mari kita simak sebuah artikel
yang saya ambil di kaskus.us yang berjudul ‘Jangan biarkan anak terlalu bersih”
i bawah ini:
“Hasil penelitian tim peneliti School of Medicine di University of California, AS, seperti diberitakan Nature Medicine, Senin (23/11), menyebutkan, bakteri bernama Staphylococci yang hidup di kulit membentuk semacam jaringan yang mencegah peradangan ketika kita terluka.
Bakteri itu juga mengurangi reaksi ketahanan tubuh yang berlebihan. Para pakar medis mengatakan, temuan tim peneliti itu memberikan penjelasan atas ”hipotesis kesehatan” yang menyebutkan jika tubuh dibiasakan menghadapi kuman sejak usia dini, maka kemungkinan besar tubuh akan menciptakan jaringan pelindung dari berbagai macam alergi. Selama ini ada pandangan bahwa obsesi masyarakat pada kebersihan sebenarnya mulai muncul ketika alergi merebak di negara-negara berkembang. ”Temuan ini bisa membantu kita untuk menemukan pendekatan yang baru untuk menangani penyakit-penyakit kulit yang menular,” kata pemimpin tim peneliti Richard Gallo. Juru bicara untuk lembaga Allergy UK mengatakan, semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa tubuh sebenarnya akan menjadi lebih kebal jika kerap terekspos dengan kuman.”
Lalu bagaimana caranya agar buah
hati kita bisa hidup “agak kotor” namun
tetap sehat? Saya akan memberikan sebuah pengalaman menarik dari Bunda Sufeini Setia, seorang Ibu yang
berprofesi sebagai guru TK dan Pra TK.
Kesaksian ini adalah sebuah kisah nyata yang pernah
dialami buah hatinya. Dulu buah hati Bunda
Sufeini juga tidak mau berkotor-kotor ria. Ide
yang terlintas di dalam benak Bunda Sufeini adalah dengan
cara membuat lem bersama. Bunda Sufeini mengajak anaknya
untuk membuat lem yang berbahan tepung tapioka dan pewarna
makanan. Beliau membiarkan anaknya untuk
terlibat penuh dalam proses memasak lem
tersebut.
Setelah matang, sang anak
sempat berkata,”Kok kayak makanan?” Lalu Bunda Sufeini mengatakan
bahwa yang mereka masak bukanlah makanan, namun
sebuah mainan. Setelah dingin, Bunda Sufeini
memberikan kertas karton kepada buah hatinya, lalu
membiarkan berkreasi sesukanya dengan lem tersebut. Pada
saat bermain, sang anak sempat berkata “jijik”. Namun Bunda
Sufeini menjelaskan,”Kalau sudah dimasak kenapa harus
jiijk? Kalaupun tangan kita jadi kotor, nanti kan bisa
cuci tangan supaya bersih.”
Hasilnya sangat
positif, di sekolah, buah hati dari Bunda Sufeini ini
sudah mau bermain menggunakan lem, pewarna, dll yang
dulu menurutnya kotor dan jijik. Itu hanyalah salah
satu cara agar buah hati kita tidak
“terlalu bersih”. Namun setiap anak tentu membutuhkan
pendekatan dan metode yang berbeda-beda. Jadi tidak ada salahnya bila sekali-sekali kita
bertanya kepada guru yang mengajak anak kita di
sekolah tentang mau tidaknya anak kita melakukan permainan
yang “berkotor-kotor”. Bila buah hati kita ternyata belum
mau, mungkin kita bisa mencoba metode yang digunakan
oleh Bunda Sufeini di atas, tentang bagaimana cara
menanamkan di dalam pikiran anak bila kita tidak
perlu takut “kotor”.
Saya jadi teringat
sama anak-anak yang hidup di kampung
nenek saya, banyak anak-anak yang
dibiarkan tanpa celana merangkak di rumah yang
lantainya adalah tanah (tanpa ubin), namun tetap terlihat
sehat dan katanya jarang sakit. Ups… Tapi saya
tidak menyarankan untuk ikut-ikutan mereka lho. Karena
lingkungan tempat tinggal kita mungkin berbeda dengan mereka.
Yang terpenting adalah jangan biarkan buah hati kita
takut berkotor-kotor.
Sumber: Kak Zepe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar